Selasa, 04 Oktober 2011

Cembengan

 Masyarakat di sekitar Pabrik Gula Madukismo (disingkat PG Madukismo) tentu tidak asing lagi dengan perayaan Cembengan, yaitu berbagai macam agenda kegiatan dengan puncak acaranya yakni Upacara Kirab Manten Tebu yang diarak dari depan Gedung Maducandya mengelilingi komplek pabrik. Upacara ini dimaksudkan untuk meminta keselamatan dan hasil gula yang baik. Upacara Cembengan ini biasanya dilaksanakan pada bulan April dan dijadikan sebagai tanda dimulainya musim giling-suling. Selain Ritual Tebu Manten, terdapat juga upacara penghormatan terhadap pabrik gula yang berupa prosesi Ruwatan Mesin Pabrik, Slametan Giling, pagelaran wayang kulit dan pasar rakyat. Acara ini merupakan tradisi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun semenjak PG Madukismo diresmikan Presiden Sukarno pada tahun 1958. 

Sejarah Cembengan 
Tradisi Cembengan sebenarnya merupakan tradisi warga Tionghoa, yaitu tradisi Cing Bing. Cing Bing merupakan tradisi ziarah yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa ke makam leluhur mereka sebelum melaksanakan karya besar. Tradisi Cing Bing ini biasanya dilakukan oleh orang-orang Tionghoa yang bekerja di PG Madukismo. Perkembangan kemudian bukan hanya warga Tionghoa yang melakukan tradisi ini, masyarakat lokal pun turut andil di dalamnya. Masyarakat lokal menyebut tradisi ini dengan Cing Bing-an, yang kemudian populer dengan istilah Cembengan, karena kata Cing Bing-an sulit dilafalkan oleh orang Jawa.

Prosesi Ritual Tebu Manten  
Tebu Manten
Prosesi Tebu Manten ialah prosesi dimana diadakannya ritual pernikahan 9 pasang tebu di komplek Pabrik Gula Madukismo. Sebelum pernikahan berlangsung, pasangan pengantin tebu diarak mengelilingi kompleks pabrik PG Madukismo. Tebu tersebut juga diberi nama menurut jenis kelamin masing-masing. Penamaan sepasang pengantin tebu ini berbeda setiap tahunnya, tergantung hari pelaksanaan Kirab Manten Tebu ini dilaksanakan. Sebut saja misalnya pasangan pengantin tebu yang bernama Kyai Tumpak dan Nyai Pon. Artinya, pasangan pengantin tebu ini menikah pada hari Pon, salah satu nama hari dalam penanggalan Jawa. Kyai Tumpak merupakan simbol tebu berjenis kelamin laki-laki, sedangkan Nyai Pon adalah simbol tebu berjenis kelamin perempuan.
Menurut berbagai sumber, menikahkan sepasang tebu mengandung makna bahwa pasangan tersebut akan membentuk keluarga yang damai dan sejahtera. Makna yang lebih jauh perkawinan tersebut adalah bentuk kerja sama yang baik antara perusahaan dan para petani tebu.

suasana kirab tebu manten
Tebu yang dikirab berjumlah sembilan batang dengan panjang sekitar empat meter setiap jenis kelamin. Tiap-tiap pasangan diikat menjadi satu menurut jenisnya. Tebu yang menjadi simbol laki-laki berwarna hitam, sedangkan yang menjadi simbol perempuan berwarna kuning. Jenis tebu yang dijadikan pengantin ini berasal dari wilayah perkebunan yang berbeda.
  Pasangan pengantin tebu ini diarak menggunakan kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda. Arak-arakan tersebut menempuh rute sepanjang kurang lebih 1 hingga 3 kilometer. Barisan paling depan biasanya adalah kelompok marching band dari beberapa sekolah di sekitar PG Madukismo, kelompok kesenian seperti kuda lumping, dan para prajurit Keraton Yogyakarta. Empat sosok punakawan, yaitu Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng mengapit di sisi kanan dan kiri kereta yang membawa pengantin tebu. Barisan di belakangnya adalah para petani tebu dan karyawan yang ditunjuk. Sebelum mencapai lokasi penggilingan, pasangan tebu itu akan dinikahkan di masjid yang berada di lingkungan PG Madukismo.
Setelah para petani menyerahkan pengantin tebu secara simbolis kepada pihak pabrik, acara dilanjutkan dengan doa bersama untuk memohon keselamatan. Sepasang Manten Tebu diletakkan di mesin penggiling. Pasangan inilah yang akan digiling pertama kali ketika proses penggilingan tebu dilakukan. Di sebelah mesin berbagai jenis sesajen digelar berjajar-jajar. Sesajen tersebut berupa dua kepala sapi yang dikubur dekat mesin penggiling, serta tumpeng, ingkung (sekarang diganti dengan ayam bakar), dan buah-buahan sebanyak 40 (empat puluh) buah. Jumlah ini melambangkan jumlah unit kerja yang ada di PG Madukismo.

aneka sesaji dari masing-masing unit kerja
kepala lembu yang bakal di tanam
Selain ritual doa bersama mengarak pasangan pengantin tebu, dalam rangkaian Upacara Cembengan tersebut juga digelar berbagai jenis kesenian. Ada pergelaran wayang kulit, festival band, pertunjukan ketoprak, pentas musik, dan pasar malam.
LOKASI 

Upacara ini di laksanakan di kompleks Pabrik Gula Madukismo yang berada di Desa Padokan, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Untuk lebih jelasnya silahkan lihat disini.
dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar